Kadang gue ga ngerti dengan pola pikir manusia yang telah terbentuk selama ini, salah satu quotes yang seringkali jadi pegangan semua orang: berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Di buku pelajaran SD, di buku peribahasa waktu SMP, sampe sekarang kayanya ga ada henti-hentinya orang ngingetin peribahasa itu.
Setelah sebuah pembicaraan random dengan seorang kawan, sebut saja Rano, gue memutuskan untuk tidur tapi ada sesuatu yang mengganjal gue daritadi karena pembicaraan tersebut. Apa sebenernya yang manusia lakukan selama ini? Selalu mencari dan mengejar masa depan sampai-sampai dia melupakan ‘kehidupan’ dia yang sekarang. Itulah mengapa gue ambil contoh peribahasa ‘bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.’ Gue rasa ada sesuatu yang cacat dari peribahasa tersebut.
Seperti semua manusia pada umumnya di muka bumi ini, sejak dilahirkan kita udah dicekokin dengan berbagai macam hal yang akan membentuk kita di kemudian hari, waktu kita masuk sekolah kita ditaro orang tua di sekolah-sekolah yang terbaik, untuk apa? Supaya bisa mendapatkan pendidikan yang bagus dengan harapan kita bisa jadi ‘ORANG’ nanti. Saat kelas 3 SMP kita berusaha keras ngerjain modul dan latihan soal-soal tiap hari, kita belajar, kita ngafalin mati-matian, kita mengejar 2 tujuan yang namanya, lulus dan masuk SMA yang kita inginkan. Begitu kita masuk SMA, kita berusaha keras lebih mati-matian lagi untuk masuk universitas yang kita dambakan. Begitu kita masuk universitas yang kita dambakan, kita berjuang keras ngerjain tugas-tugas dan ujian-ujian yang kadang hampir bikin kita nyerah, tapi terus kita inget peribahasa ‘bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian’, kita kembali berjuang demi mendapatkan nilai bagus. Nilai bagus untuk apa? Supaya di transkrip nilai kita nanti terpampang IP bagus yg bisa mendukung kita mendapatkan pekerjaan yang kita impi-impikan selama ini. Kemudian kita lulus, dapat IP bagus, dan mendapatkan pekerjaan yang selama ini kita impikan, selanjutnya apa? Terus bekerja mencari uang supaya bisa nabung buat nikah, beli rumah, beli mobil, dan memberi penghidupan pada keluarga nanti.
Sadar atau tidak, itulah lingkaran hidup yang sebagian besar dari kita jalani. Ada sesuatu yang salah dari sistem pemikiran manusia selama ini. Selama kita hidup, kita terus mengejar sesuatu, selalu dan selalu, kita terlalu banyak berfikir tentang masa depan yang semu, yang bayangan-bayangan saja. Sampai-sampai kita lupa tentang kehidupan SEKARANG, yang SEKARANG sedang kita jalani. Kita terlalu disibuki untuk membangun masa depan, tak sempatkah kita berhenti sejenak untuk menikmati hidup yang kita jalani sekarang? Rugikah kita jika sebentar saja kita lupakan masa depan, dan menghargai setiap udara yang kita hirup dan keluarkan SEKARANG? Menghargai setiap orang yang kita temui SEKARANG? Menghargai setiap receh yang kita punya SEKARANG, bukan jutaan yang akan kita punya nanti?
Mungkin sudah saatnya kita berfikir ulang dalam menggunakan peribahasa 'berakit-rakit kehulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian." Yang ada, kita terus bersakit-sakit, dan begitu kita seharusnya sampai pada titik 'senang', kita akan tetap harus bersakit-sakit lagi demi mengejar 'kesenangan' selanjutnya, dan terus berlanjut seperti itu. Pada akhirnya kita bertanya-tanya dimana 'kesenangan' itu?
Seandainya kita sudah pensiun nanti, mungkin kita akan sadar akan segala moment yang terlewatkan. Mungkin kita sadar mungkin kita tidak. Tetapi begitu kita sadar, kiranya kita sudah terlalu tua, sudah terlalu lelah, untuk ‘make-up’ the time and the moments that we have lost. Kita sudah terlambat.
Mengutip dari sebuah buku ‘Like The Flowing River’ karya Paulo Coelho,
“ The funny thing about human being is our contradictories. We are in such hurry to grow up, and then we long for our lost childhood. We make ourselves ill earning money, and then spend our money on getting well again. We think so much about the future that we neglect the present, and thus experience neither the present nor the future. We live as if we were never going to die, and die as if we have never lived.”