"Memasuki salah satu sekolah negeri di bilangan Serpong, terlihat sebuah spanduk terpampang besar dan jelas di depan pintu gerbangnya bertuliskan, “Ingat! Ingat! Ingat! Ujian Nasional Tinggal 78 hari lagi! Sudah siapkah Anda?”
Pemandangan tersebut akhir-akhir ini sudah tak asing lagi dilihat di pintu masuk SMA-SMA, dari spanduk sampai countdown yang bertebaran di setiap pojok sekolah, . Guru-guru ikut serta ‘menteror’ murid-muridnya. Hampir setiap masuk kelas mereka selalu memulai pembicaraan dengan, “ Waktu kalian tinggal sedikit, belajar ya!” atau, “Aduh jangan sampai ga lulus, malu, mau dibilang apa?”, kadang “Ini adalah titik penghabisan kalian, buktikan apa yang kalian pelajari selama tiga tahun di sekolah ini!”. Bimbel-bimbel juga seakan-akan menghantui murid-murid kelas 12 dengan program intensifnya yang berembel-embel sukses UN. Ujian Nasional, disaat-saat seperti ini memang telah menjadi orientasi utama setiap sekolah.
Pertama mari kita lihat konsep dasar diadakannya UN. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.75 tahun 2009, tujuan diadakannya ujian Nasional adalah untuk mengukur dan menilai kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Pada Pasal 3, disebutkan bahwa hasil UN akan digunakan sebagai pertimbangan untuk menentukan mutu sekolah, seleksi untuk masuk jenjang pendidikan berikutnya, dan sebagai penentu kelulusan peserta didik.
Sekarang yang perlu dipertanyakan adalah, apakah tujuan pemerintah mengadakan UN untuk mengukur dan menilai (mengevaluasi) kompetensi siswa selama tiga tahun dapat diterima? Pasal 58 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjadi boomerang tersendiri bagi pemerintah. Pasal tersebut menyebutkan bahwa: "Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik/guru". Namun dalam konteks UN, pemerintahlah yang menentukan. Anehnya, pemerintah tidak tahu sedikitpun kemampuan masing-masing individu peserta didik. Pemerintah tidak berada di lapangan untuk melihat situasi dan kondisi kegiatan belajar mengajar di sekolah secara langsung. Lalu dengan seenak udelnya berdasarkan Permen No.75 tahun 2009 Pasal 3, pemerintah seolah-olah berhak menghakimi siapa-siapa yang berhak lulus dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan siapa-siapa yang terpaksa ‘mandek’ di SMA membuat masa depan siswa tersebut tak jelas juntrungannya. Hal tersebut telah menimbulkan ketidak adilan dalam dunia pendidikan, misalnya saja seorang siswa telah belajar selama tiga tahun dengan nilai-nilai yang memuaskan, namun ketika UN dia sedang mengalami permasalahan sehingga nilai-nilainya tidak memenuhi standar dan akhirnya anak tersebut tidak lulus. Relevankah hasil UN tersebut? Tentu saja tidak. Sampailah kita pada pertanyaan, siapakah yang berhak mengevaluasi kemampuan siswa dan menentukan kelulusan? Pemerintah yang tidak mengetahui kondisi lapangan pendidikan dan tidak tahu menahu tentang kemampuan peserta didik? Atau pihak sekolah yang terus mendampingi dan melihat perkembangan siswa selama tiga tahun? Anda tentu bisa menentukannya sendiri, akal sehat dan logika jelas-jelas telah menemukan jawabannya.
Selain tujuan UN yang kurang tepat, permasalahan lain yang timbul adalah banyaknya kecurangan yang terjadi dalam proses pelaksanaan UN. Dari bocornya soal-soal UN dan kunci jawabannya yang kemudian diperjual-belikan, bahkan sekolah yang diam-diam memberikan jawaban kepada seluruh siswanya, sampai guru yang dengan santainya masuk ke kelas saat ujian berlangsung untuk membagikan secarik kertas yang berisi kunci jawaban! Mungkin Anda kira kasus-kasus seperti ini hanya terjadi di sekolah ‘ecek-ecek’ pedalaman saja namun ternyata banyak kasus seperti ini terjadi di sekolah-sekolah unggulan dan favorit di bilangan Serpong-Tangerang. Salah satu kasusnya terjadi di sebuah sekolah swasta yang cukup terkenal di BSD yang ternyata diam-diam memberikan kunci jawaban UN kepada siswa-siswinya. Apa yang terjadi? Para murid yang telah belajar mati-matian dan berusaha keras untuk UN merasa sangat tersinggung dengan sikap sekolah yang justru tidak mengajarkan kejujuran kepada murid-muridnya. Bahkan siswa-siswi yang tidak mau menerima kunci jawaban tersebut dicibir ‘sok pinter’, ‘sok baik’, dan sejenisnya. Sungguh mengerikan betapa demi menjaga nama baik, mempertahankan jabatan, memperindah laporan, dan kepentingan ini itu, kejujuran yang menjadi esensi dalam dunia pendidikan justru diabaikan. Maka dari itu UN tidak bisa dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan para siswa karena di sisi lain justru UN bisa mengkondisikan seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan kejahatan.
Hal ketiga yang perlu dikaji kembali adalah fungsi UN sebagai pemetaan mutu pendidikan Indonesia . Sebagai sebuah negara kepulauan yang sangat luas dari ujung Pulau Sabang sampai Merauke di timur, yang memiliki ribuan pulau, Indonesia tentu saja memiliki standar mutu pendidikan yang berbeda-beda. Bayangkan jika seorang lulusan SMA di Irian Jaya yang kemampuan berhitungnya hanya sampai perkalian pembagian saja, harus disamakan dengan kemampuan anak-anak di Jakarta yang sudah menguasai logaritma, atau operasi aljabar tingkat tinggi. Terdapat sebuah kesenjangan mutu pendidikan yang sangat mencolok di Indonesia . Evaluasi semacam UN memang dilakukan di beberapa negara lain, contoh Malaysia, namun di negara-negara tersebut standar pendidikan di tiap daerahnya sudah sama rata, sehingga kesenjangan mutu pendidikan tidak menjadi masalah lagi. Indonesia ? Jelas masih perlu banyak perbaikan. Sebelum UN, perlu diadakan pemerataan mutu pendidikan di kota-kota besar maupun di daerah, sehingga para peserta ujian memiliki garis start yang sama dalam mempersiapkan ujian.
Hal terakhir yang juga perlu dipertanyakan adalah ujian nasional yang ternyata hanya menilai siswa dari nilai-nilai akademis yang tertulis dengan angka di hasil lembar jawaban. Penilaian satu arah tersebut telah melanggar prinsip sistem Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang berisi bahwa pendidiklah yang mengetahui kompetensi siswa, karena itu evaluasi akhir dan penilaian kelulusan dilakukan oleh pendidik dengan mempertimbangkan nilai kognitif, afektif, dan psikomotor siswa. Sedangkan UN hanya menilai siswa dari sisi kognitif saja. Dari jumlah betul salah yang siswa kerjakan di lembar jawabannya. Padahal selama tiga tahun para siswa belajar di sekolah, mereka tidak hanya mempelajari nilai-nilai akademis, tetapi juga belajar untuk berdisiplin, bersikap jujur, kritis, menjadi orang yang tangkas, dan sejenisnya. Sayang sekali UN tidak mewadahi evaluasi lain selain evaluasi unsur kognitif saja yang digunakan untuk menentukan kelulusan siswa. Maka dari itu sangat tidak rasional jika masa depan siswa hanya ditentukan dengan tes beberapa mata pelajaran saja. Tiga tahun sekolah hanya ditentukan dengan duduk beberapa jam. Sungguh tidak adil.
Disebutkan juga bahwa UN bukanlah satu-satunya penentu kelulusan seorang siswa, salah satunya juga ada ujian yang diadakan oleh sekolah atau disebut UAS. Memang benar itu, namun ditulis juga bahwa jika siswa tidak lulus dalam salah satu persyaratan, maka dia harus mengulang. Jadi sebenarnya sama saja, misalnya UAS lulus tapi UN tidak lulus, maka siswa tetap dinyatakan tidak lulus. Saya rasa ternyata syarat-syarat lain hanyalah basa basi, karena pada akhirnya siswa tetap harus berhasil dalam UN untuk dinyatakan lulus.
Pada akhirnya saya tetap setuju dengan diadakannya UN. Ujian tersebut memang berguna untuk mengontrol kualitas pendidikan di Indonesia dan agar sekolah tidak asal-asalan dalam melakukan kegiatan belajar mengajar. Tidak terbayangkan jika UN tidak ada. (Wong ada UN saja masih banyak sekolah yang amburadul bagaimana jika UN dihapus?). Selain untuk mengontrol mutu sekolah di Indonesia , UN juga dapat meningkatkan semangat belajar para siswa sehingga mereka mempunyai tujuan akhir yang dapat memotivasi mereka untuk terus belajar. UN juga dapat membentuk suatu kebiasaan kerja keras dan watak tidak lembek diantara para remaja. Dengan adanya UN para siswa akan terdorong untuk belajar keras dan tidak lemah dalam menghadapi tantangan. Namun yang sangat harus diperhatikan adalah, ketika UN menjadi syarat kelulusan siswa, maka pada saat itulah fungsi UN telah menyimpang. UN bukannya menjadi sarana untuk mengontrol mutu pendidikan, namun malah menjadi lahan empuk tumbuhnya kejahatan dan ketidak adilan dalam dunia pendidikan. UN bukannya membentuk watak kerja keras namun malah membentuk watak-watak pembohong dan licik diantara para peserta didik. UN yang terlalu digembar-gemborkan dengan spanduk disana sini dan countdown bukannya meningkatkan semangat belajar malah membuat para siswa merasa ‘diteror’ dan ‘dihantui’ yang pada akhirnya menyebabkan penurunan semangat belajar. Hal-hal tersebutlah yang amat perlu diperhatikan pemerintah sehingga sisi positif UN tidak lagi menjadi bumerang bagi para peserta didik. UN yang telah berjalan selama bertahun-tahun ini jika diteruskan dengan kondisi yang sama, tidak akan menghasilkan calon pemimpin intelektual, jujur, dan tangguh, namun sebaliknya, justru akan menghasilkan calon-calon pembohong masa depan yang licik, dan jelas, akan menghancurkan bangsa."
1 comment:
tulisan kamu cool seperti yang kamu ucapkan di hampir setiap tulisan yang kamu tulis. walaupun tipe-tipe tulisan seperti ini sering saya baca tapi setidaknya kamu menulis nya dengan lugas. oh iya kamu kurus banget ya?? tapi pundak kamu cool :)
Post a Comment